I. Di Balik Dinding: Keheningan Putih
Gerbang besi besar di Castle Black terangkat dengan derit yang menyakitkan telinga, membuka jalan menuju ketiadaan yang putih. Tiga penunggang kuda dari Night’s Watch—Gared yang tua dan berpengalaman, Will yang bermata tajam, dan Ser Waymar Royce, ksatria muda yang sombong dalam balutan bulu hitam pekat—melangkah keluar dari batas dunia beradab.
Hutan Haunted Forest tidak menyambut mereka. Hutan itu mengamati.
Angin utara bukan sekadar udara dingin; itu adalah entitas hidup yang menggigit kulit, menembus lapisan wol dan kulit, mencari tulang. Berhari-hari mereka melacak sekelompok wildling—kaum liar—hingga jejak itu berakhir di sebuah cekungan bersalju.
Will merayap ke tepian tebing. Pemandangan di bawahnya membekukan darahnya lebih cepat dari angin manapun. Mayat-mayat. Pria, wanita, anak-anak wildling. Terbaring dalam posisi aneh di atas salju yang merah oleh darah beku, dikelilingi potongan tubuh yang terserak. Pembantaian yang sunyi.
"Kita harus kembali," bisik Gared, ketakutan purba menguasai matanya. "Orang mati tidak menakutimu, kan?" cemooh Ser Waymar, arogansinya menjadi perisai yang rapuh.
Mereka turun untuk memeriksa. Namun, cekungan itu kini kosong. Mayat-mayat itu... lenyap.
Keheningan hutan tiba-tiba berubah. Bukan lagi sepi, tapi menekan. Suara gemeretak halus terdengar, seperti es yang retak di bawah beban.
Sesosok makhluk muncul dari bayang-bayang pepohonan. Tinggi, kurus, pucat seperti susu basi. Kulitnya tampak seperti es yang ditarik kencang di atas tulang. Matanya... dua titik biru terang yang membakar, lebih dingin dari gletser manapun. Ia membawa pedang yang terbuat dari kristal es transparan, begitu tipis hingga tampak tak kasat mata, namun memancarkan hawa dingin yang mematikan.
Ser Waymar Royce, dengan keberanian yang bodoh, menghunus pedangnya. Pertarungan itu singkat. Pedang baja manusia bertemu dengan pedang es makhluk itu, dan baja itu hancur berkeping-keping dengan suara jeritan logam. Pedang es menebas, menembus kulit, daging, dan tulang Waymar dengan kemudahan yang mengerikan.
Will, bersembunyi di atas pohon, menyaksikan horor itu. Ketika ia akhirnya berani turun setelah keheningan kembali, ia disambut oleh tatapan kosong Ser Waymar Royce. Mata ksatria mati itu terbuka, dan kini bersinar dengan warna biru es yang sama.
Will berlari. Ia berlari dari tugasnya, dari kehormatannya, dan dari kengerian yang bangkit kembali di Utara yang jauh.
II. Winterfell: Darah di Atas Salju
Di Winterfell, benteng batu kelabu yang kokoh di jantung Utara, kehormatan adalah segalanya.
Eddard "Ned" Stark, Lord of Winterfell, berwajah keras seperti musim dingin yang panjang. Ia menerima kabar bahwa seorang desertir Night’s Watch telah ditangkap. Hukum di Utara itu sederhana dan brutal: hukuman bagi pengkhianat adalah mati.
Bran Stark, yang baru berusia sepuluh tahun, diajak serta. Ini adalah kali pertama baginya. "Jangan membuang muka," bisik Jon Snow, saudara tirinya yang berwajah muram, di sampingnya. "Ayah akan tahu."
Di sebuah lapangan terbuka, di bawah langit kelabu yang berat, desertir itu—Will yang malang—berlutut. Ia bergumam tentang "White Walkers" dan mata biru, tapi kata-katanya hilang ditelan angin dingin. Ia telah melanggar sumpah.
Ned Stark menghunus Ice, pedang besar baja Valyria warisan keluarganya. Bilahnya gelap dan berasap, meminum cahaya di sekitarnya.
"Dengan nama Robert dari House Baratheon, Raja Andal dan Rhoynar dan First Men..." Ned mengucapkan kalimat formal itu tanpa emosi. "Saya, Eddard dari House Stark... menjatuhkan vonis mati."
Pedang itu berayun. Tebasan bersih. Kepala terpisah dari tubuh, darah segar menyembur, menodai salju putih dengan warna merah yang mengejutkan.
Bran tidak memalingkan muka, meski perutnya mual.
"Kau melakukannya dengan baik," kata Ned pada putranya nanti. "Orang yang menjatuhkan vonis haruslah yang mengayunkan pedang. Jika kau akan mengambil nyawa seorang pria, kau berhutang padanya untuk menatap matanya dan mendengarkan kata-kata terakhirnya."
Itu adalah Cara Lama. Cara Stark.
III. Pertanda dari Dewa Lama
Dalam perjalanan pulang, di sebuah jembatan batu di tengah hutan, mereka menemukannya.
Seekor direwolf betina. Besar, jauh lebih besar dari serigala biasa mana pun, tergeletak mati dengan tanduk rusa jantan patah tertanam di tenggorokannya. Keduanya mati saling membunuh.
Di samping bangkai induknya, lima anak anjing direwolf menggeliat, mata mereka belum terbuka.
"Ini adalah tanda," gumam Jory Cassel, kapten penjaga Ned.
Theon Greyjoy, anak asuh Ned yang bermulut tajam, menghunus belatinya untuk mengakhiri penderitaan anak-anak anjing itu.
"Tidak!" seru Bran.
Jon Snow melangkah maju. "Ada lima anak anjing, Lord Stark. Tiga jantan, dua betina. Anda memiliki tiga putra sah dan dua putri. Direwolf adalah lambang House Stark. Ini bukan kebetulan. Ini adalah takdir."
Ned menatap anak-anaknya—Robb, Sansa, Arya, Bran, Rickon—dan kemudian pada anak-anak anjing itu. Ia mengangguk. "Kalian yang akan merawat mereka. Kalian yang akan melatih mereka. Dan jika mereka mati, kalian yang akan mengubur mereka."
Saat mereka beranjak pergi, Jon berhenti. Di balik semak, terpisah dari yang lain, ada satu lagi. Anak anjing keenam. Lebih kecil dari yang lain, dengan bulu putih bersih dan mata merah darah. Ia tidak bersuara.
"Albino," kata Theon dengan jijik. "Yang ini akan mati paling cepat."
Jon Snow mengangkat anak anjing putih yang sunyi itu. "Yang ini milikku."
Anak haram mendapatkan si penyusup. Simbolisme itu tidak hilang bagi siapa pun. Musim dingin sedang datang, dan para serigala Stark telah kembali.
IV. Kedatangan Sang Raja
Berita datang melalui burung gagak. Kematian Jon Arryn, Tangan Kanan Raja di King's Landing. Dan berita yang lebih besar: Raja Robert Baratheon berkuda ke utara menuju Winterfell.
Seminggu kemudian, rombongan kerajaan tiba. Suara terompet membelah udara dingin, diikuti gemuruh ratusan kuda dan roda kereta. Winterfell yang kelabu dan suram tiba-tiba dibanjiri warna. Spanduk emas bergambar singa Lannister berkibar di samping rusa jantan bermahkota Baratheon.
Raja Robert adalah pria yang besar, kegemukannya adalah bukti dari tahun-tahun penuh pesta dan anggur, kontras tajam dengan Ned Stark yang ramping dan keras. Namun, pelukan mereka hangat, pelukan saudara seperjuangan yang pernah memenangkan takhta bersama.
Di belakang Robert, turunlah Ratu Cersei Lannister. Ia adalah kecantikan yang dingin, rambutnya emas cair, matanya hijau zamrud yang menilai Winterfell dengan kejijikan yang terselubung. Di sampingnya, saudara kembarnya, Ser Jaime Lannister "The Kingslayer", mengenakan baju zirah emas yang berkilauan, senyum sinis terukir di wajah tampannya. Dan di bayang-bayang mereka, Tyrion Lannister, "The Imp", si kurcaci yang cerdas dengan mata berbeda warna, mengamati segalanya dengan geli.
Malam itu, di ruang bawah tanah Winterfell, di depan patung Lyanna Stark—wanita yang dicintai Robert dan saudari yang hilang dari Ned—raja mengajukan permintaannya.
"Aku butuh kau, Ned. Jon Arryn sudah mati. Aku dikelilingi oleh penjilat dan orang bodoh. Aku ingin kau menjadi Tangan Kanan Raja (Hand of the King). Pergilah bersamaku ke selatan. Bantu aku memerintah."
Itu adalah kehormatan yang tidak bisa ditolak, namun terasa seperti hukuman mati.
V. Seberang Lautan: Naga yang Dijual
Jauh di timur, di seberang Narrow Sea, di kota Pentos yang panas dan berdebu, tidak ada salju. Hanya ada ambisi.
Viserys Targaryen, pewaris takhta "Raja Pengemis" dari dinasti naga yang digulingkan Robert dan Ned bertahun-tahun lalu, menatap adik perempuannya, Daenerys.
Dany masih muda, pemalu, dengan rambut perak-emas khas Valyria dan mata ungu yang selalu ketakutan. Dia adalah alat tawar-menawar. Viserys akan menjualnya kepada Khal Drogo, seorang panglima perang Dothraki yang memimpin pasukan berkuda yang biadab.
"Kau akan menikahinya, dan kau akan menyenangkannya," desis Viserys, mencengkeram bahu adiknya. "Aku akan membiarkan seluruh pasukannya menidurimu jika itu yang diperlukan untuk mendapatkan kembali mahkotaku."
Pertemuan pertama mereka menakutkan. Khal Drogo adalah raksasa pria, kulitnya sewarna tembaga, rambutnya dikepang panjang dihiasi lonceng—tanda bahwa ia tak pernah kalah dalam pertempuran. Dia tidak berbicara bahasa umum. Dia hanya menatap Dany seperti seseorang menatap kuda yang bagus.
Pesta pernikahan Dothraki adalah kekacauan berdarah; perkelahian dan persetubuhan terbuka adalah hiburan. Di tengah keriuhan itu, Daenerys Targaryen, Putri Dragonstone, duduk membatu, menatap masa depannya yang brutal.
Sebagai hadiah pernikahan, seorang pedagang kaya memberinya tiga telur naga yang telah menjadi batu karena usia. Telur-telur itu terasa hangat di sentuhannya, sebuah denyut kehidupan purba yang hanya bisa dirasakan oleh darah naga.
Malam itu, di bawah bintang-bintang asing, Dany menangis saat Khal Drogo mengklaimnya. Naga itu telah dijual.
VI. Menara Patah: Jatuhnya Kepolosan
Kembali di Winterfell, suasana tegang setelah Catelyn Stark, istri Ned, menerima pesan rahasia dari saudarinya di King's Landing. Pesan yang menuduh bahwa Jon Arryn tidak mati secara wajar. Dia dibunuh oleh Lannister.
Kecurigaan meracuni udara pesta penyambutan. Tapi Bran Stark tidak peduli pada politik. Dia hanya peduli pada memanjat.
Dia memanjat tembok Winterfell seperti tupai, semakin tinggi, menuju menara tua yang sudah lama ditinggalkan. Ibunya selalu melarangnya, tapi pemandangan dari atas sana terlalu menggoda.
Saat ia bergelantungan di luar jendela menara usang itu, ia mendengar suara-suara. Erangan. Desahan.
Bran menarik dirinya ke atas dan mengintip ke dalam.
Dunia berhenti.
Di lantai batu yang dingin, dua sosok berambut emas bergumul dalam gairah yang terlarang. Ratu Cersei dan saudara kembarnya, Ser Jaime Lannister. Mereka bukan sekadar saudara; mereka adalah sepasang kekasih.
Cersei melihat Bran lebih dulu. Jeritannya tertahan. Jaime menoleh, matanya melebar karena terkejut, lalu menyipit karena kesadaran yang dingin.
Mereka tertangkap basah. Rahasia tergelap kerajaan ada di tangan seorang bocah sepuluh tahun.
Jaime berdiri, merapikan pakaiannya dengan ketenangan yang mengerikan, dan berjalan ke jendela. Bran menatapnya, lumpuh karena ketakutan dan kebingungan.
Jaime Lannister menatap mata bocah itu. Tidak ada kebencian di sana, hanya pragmatisme yang kejam dan sedikit penyesalan yang lelah.
"Hal-hal yang kulakukan demi cinta," gumam Jaime.
Dia meletakkan tangannya di dada Bran, dan mendorongnya.
Bran Stark jatuh. Ia jatuh dari menara tinggi, jatuh dari masa kanak-kanaknya, jatuh menuju kegelapan, sementara serigala-serigala di bawah melolong pada takdir yang baru saja dimulai.
Musim dingin telah benar-benar datang.